oleh : Nurroyyanah (Pimpinan Redaksi Majalah Assalam X)
Istilah generasi milenial memang sedang akrab terdengar di telinga kita. Milenial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Apapun itu sebutannya, pada intinya, bahwa era kemajuan teknologi membawa perubahan signifikan pada ragam dimensi generasi yang lahir di dalamnya. Era di mana hanya yang berani dan optimis yang akan memegang kendali atasnya. Kecanggihan teknologi bagi kelompok ini adalah peluang sekaligus kemudahan, bukan sebaliknya. Teknologi justru membelenggu kreativitas dan ide-ide besar. Dunia ibarat dalam genggaman tangan, demikian yang diyakini generasi milenial. Sikap berani, optimis, dan kreatif lah yang muncul, bukan malah menjadi generasi yang terjerembab dalam kemanjaan semu teknologi.
Lalu bagaimana dengan santri dalam dimensi generasi milenial? Santri sendiri menurut Ibu Nuriyyah, S.Ag, salah seorang pengampu di madrasah Assalam, berpendapat “dia (baca; santri) adalah orang yang mendalami ilmu agama pada kyai, baik dia menetap di sebuah pesantren maupun tidak”. Zaman yang semakin maju, membuat santri harus menghadapi berbagai macam tantangan. Era sekarang tantangan santri sangat berbeda, seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan globalisasi. Menjadi seorang santri di samping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, tata krama, tawadhu’ kepada masyayikh, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya. Yaitu dengan mengolaborasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Oleh karena itu, jika santri hanya mengandalkan ilmu din (ilmu agama), akan sulit untuk bersaing di era globalisasi.
Salah satu tantangan santri di era milenial ini adalah benturan dengan lingkungan sosial. Yang mana, kita akan dianggap sebagai orang yang kudet terhadap perkembangan zaman, terlebih teknologi yang semakin canggih. Sedangkan teknologi sendiri, dalam kajian budaya merupakan lapisan terluar dan paling sedikit nilai budayanya. Teknologi hanya mengandung nilai kegunaan. Dengan itu, walaupun teknologi masuk secara besar-besaran, tidak akan mengubah hakikat dari karakter tradisi kita. Kita pasti bisa menilai mana nilai terluar dan mana nilai terdalam. Jadi, teknologi hanya mengubah pola perilaku, kebiasaan hidup, dan cara berkomunikasi. Sebagai seorang santri di era milenial harus bisa memanfaatkan teknologi sebaik baiknya dengan memanfaatkan skill atau passion yang dimiliki, mereka dapat berkompetisi sebagai digital start-up, ahli statistik, technopreneur, big data analys, dan bermacam pekerjaan menantang yang terbuka dari ruang-ruang percepatan teknologi digital lainnya.
Tantangan tak hanya didapatkan dari diri seorang santri. Pesantren pun memiliki tantangan tersendiri untuk menjembatani lahirnya santri milenial yang up to date, berani, percaya diri, inovatif, kreatif dan berkemajuan. Tanpa melepas baju tradisi yang sudah lama melekat, tutur Bapak Mukhowifin. Sistem literasi perlu juga diterapkan pada jiwa santri untuk mengimbangi perkembangan dunia informasi saat ini. Literasi bukan hanya sekadar kemampuan bisa membaca, namun lebih dari itu, literasi juga bermakna dapat memahami dan menganalisis sesuatu yang dibaca. Terutama dalam menangkap sebuah berita. Dengan penegasan terhadap aspek dalam membuat, membagikan, memviralkan suatu berita tanpa adanya tabayyun, sama saja menyebarkan kebohongan, imbuh Ibu Nuriyyah, S.Ag. Sebagai seorang santri salah satu tunas harapan bangsa dan agama, diharapkan mampu menunjukkan peranannya terhadap sisi negatif pada zona banjir informasi sekarang ini .Terutama berita yang mengandung hoax dan radikalisme sebagai biang dari perpecahan umat. Bapak Mukhowifin mengatakan bahwa dengan dasar-dasar ilmu agama yang didapatkan selama di pesantren serta pengalaman yang diperoleh, seorang santri pasti bisa memfilter informasi dari luar. Ia juga tidak akan menerima informasi secara mentah-mentah sebelum mengetahui kebenarannya dan tidak terburu-buru menyebarluaskan ke khalayak umum.
Dengan berkembangnya zaman diharapkan santri lebih bersemangat menggali ilmu sedalam-dalamnya. Sehingga santri milenial dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, skill yang mumpuni, serta berakhlak mulia bisa ikut serta dalam menebarkan nilai tawasuth (modernisasi), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi) dan I’tidal (keadilan) dalam dimensi kehidupan, sebagai pengabdian nilai-nilai pesantren yang terkoneksi dengan semangat kebangsaan.