SANTRI: Saguh Nekani Tatanan Rosuling Ilahi

oleh : Zakariyya Abbas, S.Pd.I. (Pengampu Materi Qur’an Hadits MA NU ASSALAM )

Sering kita mendengar kata santri. Terlebih lagi pada empat tahun belakangan ini, yaitu dengan keluarnya Keppres no 22 tahun 2015 tentang ditetapkanya Hari Santri  tanggal 22 Oktober oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo. Bahkan sekarang ini sebagian orang tidak malu lagi ketika disebut kaum santri. Santri sekarang ini menjadi figur rebutan. Memang masih ada sebagian kelompok orang yang risih ketika mendengar kata santri. Mereka beranggapan bahwa santri adalah orang yang selalu identik dengan pakai sarung , baju koko, sandal bakiak, tampang kumel, dan sebagainya. Padahal apa yang mereka duga itu salah. Kita akui seorang santri suka pakai sarung, baju koko, sandal bakiak. Tapi santri bukannya kurang pergaulan dan kumel. Bahkan diakui atau tidak diakui santri ternyata mampu menguasai berbagai macam keilmuan baik ilmu dunia terlebih lagi ilmu agama. Dengan bukti yang konkrit banyak tokoh–tokoh  nasional yang tenyata adalah berlatar belakang santri. KH. Hasyim Asy’ari (Ulama dan Pahlawan Nasional),  KH.Wahid Hasyim (Ulama, Pahlawan Nasional, dan mantan Menteri Agama), KH. Abdur Rahman Wahid (Presiden RI ke 4), KH. Musthofa Bisyri (Ulama’ dan Budayawan), KH. Maemun Zubair (Ulama dan Politikus), Prof. DR. H Muhammad Nuh, DEA (mantan MENDIKNAS), Prof. DR. KH . Ma’ruf  Amin ( Ulama dan Calon Wakil Presiden 2019-2024) dan masih banyak lagi tokoh–tokoh nasional yang berlatar belakang santri.

Santri bagi orang jawa merupakan kata singkatan dari Saguh Nekani Tatanan Rosuling Ilahi. Dan kata Saguh itu singkatan dari Sanggup tur Teguh. Jadi bagi seorang santri haruslah sanggup dan teguh menjalankan aturan Rosulullah SAW. Melihat pernyataan tersebut maka bagi seorang santri tentunnya berakhlaq mulia mengikuti ajaran Rosulullah Muhammad SAW yang merupakan Uswatun Hasanah (suri tauladan) bagi kita, ummatnya.

Santri bagi sebagian orang jawa awam diartikan dengan Kabisaneng perkoro telu (penguasaan tiga perkara). San dari kata kabisan dan tri artinya tiga yaitu ilmu Agama, ilmu umum, dan ilmu hikmah.

  1. Sebagai santri harus menguasai ilmu agama Islam, mampu mengusai kitab-kitab agama, terlebih lagi kitab agama klasik atau yang sering disebut kitab kuning.
  2. Sebagai santri harus menguasai ilmu umum artinya ilmu yang bersifat duniawi. Misalkan mampu mengoperasikan komputer, mengetahui ilmu teknologi (IT), dan sebagainya.                                                                                         
  3. Sebagai santri supaya mampu mengusai ilmu hikmah. Orang jawa biasanya menyebut dengan sebutan ilmu suwuk, terbukti dengan yang kita jumpai di perkampungan misalkan ada bayi rewel yang dicari adalah santri, mau bongkar rumah yang dicari santri dan lain–lain      

Jadi dari dua penjelasan tersebut  bagi seorang santri diharapkan supaya bisa dan mampu menjawab serta mengikuti perkembangan zaman tapi tidak kena dampak negatif dari perkembangan zaman. Sebagaimana pesan yang pernah disampaikan oleh Syaikhina Al-Hajj Turoikhan Az-Zuhri As-Syarof yaitu siro ojo gumunan lan ojo gampang kepincut, kabeh perkoro diukur nganggo Miizanusysyar’i. (Kamu jangan mudah kagum lalu mengikutinya tapi harus dianalisa benar apa salah menurut norma agama/syara’).

Santri di era IT dan globalisasi ini harus mampu menunjukkan jati dirinya. Supaya tidak dipandang sebelah mata oleh mereka yang alergi terhadap santri.

  Santri berfikir millenial

Sekarang ini istilah milenial sangat sering kita dengar. Menurut keterangan dari Kemenkominfo, kaum milenial adalah orang yang dilahirkan di kisaran tahun 1980-2000. Jadi kurang lebih umur 17 th- 37 th. Di usia ini biasa disebut dengan kaum muda.

Sebagai seorang pemuda harus bisa mewarnai dunia ini dengan warna positif  bagi lingkungannya. Terlebih lagi sebagai santri supaya mampu  berkreasi  dan berinovasi. Santri bukan hanya dikenal karena mahir baca kitab kuning saja tapi supaya mampu menguasai bidang lainya. Perjalanan seorang santri selalu dipandang dan diperhatikan banyak orang  disekelilingnya. Bahkan santri biasanya dijadikan public figure dan rujukan bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu santri harus mampu berfikir jauh ke depan, jangan berfikir hanya untuk kepentingan sesaat. Bukankah Syekh Mushthofa al-Gholayyiny dalam kitabnya ‘Idhotun Nasyi’in pernah mengatakan شبان اليوم رجال الغد   yang artinya : hari ini pemuda besok pemimpin?.

Melihat kata mutiara yang amat bijak ini, maka bagi santri milenial agar mampu menempatkan dirinya di tempat yang mahmudah bukan tempat yang  madzmumah, terpuji di hadapan masyarakat terlebih lagi di hadapan Allah SWT.

Santri agar mampu memperoleh tempat yang mahmudah, maka harus dibarengi dengan penguasaan ilmu yang memadai. Dalam kitab al-Muntakhobat fii al-Mahfudhot ada satu syi’ir yang artinya “hidupnya seorang pemuda di mata masyarakat harus dengan akal (pikiran). Maka atas  akal pula ilmu dan penerapanya akan bejalan.”

Sebagai implementasi dari syiir di atas, santri harus mampu mengemban dan mengembangkan keilmuan yang telah dimilikinya. Misal saja ketika di pesantren seorang santri belajar tentang perdagangan (Bab Tijaroh), maka santri harus berpikir untuk mengembangkan ilmu perdagangan tersebut lewat UMKM  di pesantren, madrasah, dan sebagainya. Bahkan mampu untuk mempraktekkan di kampung masing-masing ketika sudah boyong.

Adalah seorang ulama besar mantan Rois ‘Am PBNU (sekarang Musytasyar PBNU dan Calon Wakil Presiden 2019-2024), KH.Ma’ruf Amin  dengan gagasanya  yang  diterapkan di dunia perbankan yang akhirnya mampu membantu menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan moneter yaitu yang disebut dengan Bank  Syari’ah. Dan sekarang beliau juga punya terobosan baru yang disebut dengan Ekonomi Keummatan. Bahkan menurut pengamat ekonomi Abdur Rohman Farisi mengatakan bahwa Program Ekonomi Keummatan merupakan benteng perekonomian nasional.

Maka, jadilah santri yang berpikir milenial (berpikir kekinian) sesuai dengan perkembangan zaman serta dibarengi dengan akhlaq yang mulia (aklakul karimah).

KH. Ma’ruf Sidiq, Lc. Al-Hafidh, pendiri Yayasan Subulussalam as-Shiddiqiyyah yang menaungi Pondok Pesantren, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Assalam Kudus,  pada saat apel santri Assalam pernah mengatakan “sehebat apapun orangnya, setinggi apapun pendidikanya; S1, S2 ataupun S3, kalau tidak berakhlaqul karimah maka sia-sialah keilmuanya tersebut”.

والله اعلم بالصواب

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *