‘KAMI INGIN SEKOLAH . . . .!’

oleh: Alicia Afirda Yahya (siswi kelas XI MA NU ASSALAM)

“Tiada suatu pemberian yang lebih sempurna dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik “ (HR .  Al Hakim )”

Pendidikan, sebuah kata yang berasal dari kata dasar ‘didik’, mendapat awalan ‘pe-‘ dan akhiran ‘-an’, yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dengan adanya pendidikan dalam diri seseorang, dapat membantu orang tersebut untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak dan diakui masyarakat.

Sudah tak dapat disanggah lagi bahwa pendidikan memang salah satu hal yang penting dalam diri seseorang dan menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Contohnya saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), banyak negara-negara di dunia yang berlomba-lomba menghasilkan produk-produk IPTEK, seperti halnya Amerika, Cina, dan Jepang, yang telah terkenal akan keunggulan teknologinya, sehingga membuat negara-negara tersebut menjadi trendsetter IPTEK dunia.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suatu negara maka semakin tinggi pula kesempatan negara untuk dapat menguasai dunia internasional secara global. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Proses pendidikan di Indonesia’. Hanya dengan membaca  kalimatnya  saja akan banyak pikiran yang berorientasi dengan dua hal ini, yakni kontroversi UN dan pro-kontra Kurikulum 2013. Dua hal inilah yang akhir-akhir ini menjadi trending topic, baik dilakangan pelajar, pengajar, maupun pihak instansi pemerintah terkait. Dimulai dari diragukannya UN sebagai penentu kelulusan siswa, dikarenakan banyaknya masalah yang timbul  seperti pendistribusian soal sang tidak sesuai dengan deadline, kualitas kertas yang buruk, sampai bocornya kunci jawaban soal sehingga muncul anggapan “sing pinter kalah karo sing bejo”. Tak lupa juga Kurikulum 2013 yang dianggap terlalu dipaksakan penerapannya, belum adanya masa percobaan yang matang, serta masih minimnya pembekalan bagi para guru membuat sistem pendidikan Kurikulum 2013 seakan berjalan tanpa komando.

Namun, adakah diantara kita yang sadar bahwa di tengah-tengah kemelut hiruk pikuk permasalah pemerintah Indonesia, masih ada rakyat kecil yang belum dipenuhi haknya? Di saat orang-orang sedang panas-panasnya berdebat tentang pemberlakuan Kurikulum 2013, ternyata masih ada yang harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan, berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak, dan yang paling penting adalah berjuang agar keberadaannya dianggap.

Akhirnya semua permasalahan ini pun bermuara pada satu hal utama, Pemerataan Pendidikan.

Pemerataan pendidikan memang bukan hal yang baru bagi dunia pendidikan di Indonesia, bahkan hal ini sudah menjadi PR turun temurun bagi setiap pemegang kemudi pemerintahan. Masalah ini biasanya timbul dikarenakan beberapa faktor, salah satunya adalah perekonomian. Ya, sepertinya uang masih menjadi raja di era globalisasi ini, “ada uang hidup pun senang”, begitulah anggapan orang–orang yang tergolong hardworker di kesehariannya, dan sepertinya anggapan ini juga mempengaruhi dunia pendidikan. Bagi keluarga yang perekonomiannya tidak stabil atau bahkan cenderung kelas menengah ke bawah, makhluk bernama pendidikan bagaikan makhluk asing yang jarang sekali terjamah oleh mereka.

Selain perekonomian, sarana dan prasaran juga menjadi indikator penting dalam hal ini. Coba bandingkan antara fasilitas sekolah di kota-kota metropolitan, bak Jakarta, dengan fasilitas-fasilitas sekolah di daerah-daerah terluar negara ini. Jika boleh dimajazkan, maka majaz yang tepat adalah “bagaikan langit dan bumi“. Tidak hanya itu, bahkan warga negara Indonesia bagian timur juga kekurangan tenaga pengajar. Sungguh miris, bukan?

Namun indikator terpenting adalah pola pikir orang tua. Pendidikan itu tidak penting. Toh , tidak ada hasilnya. Lebih baik bekerja dan menghasilkan banyak uang, “ pola pikir orang tua seperti inilah yang menjadi hambatan terbesar bagi anak untuk merasakan pendidikan.

Lantas, apakah pemerintah hanya berpangku tangan dalam menghadapi masalah ini?

Tentu saja tidak, pemerintah juga telah melakukan banyak program demi menyebar-luaskan pendidikan, seperti program wajib belajar 9 tahun (2011) yang sekarang telah menjadi program wajib belajar 12 tahun (2013), pemberian dana pendidikan bagi siswa miskin (BSM), serta pemberian beasiswa baik dalam negeri maupun luar negeri bagi anak didik Indonesia yang berprestasi. Tapi sayangnya masih saja ada generasi muda Indonesia yang belum bisa merasakan pendidikan, karena masalah korupsi, penggelapan dana, dan lain sebagainya.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan ?

Banyak hal yang bisa dilakukan agar pendidikan bisa  merata di Indonesia, selain menyediakan beasiswa dan dana pendidikan, kita juga bisa mengadakan program sekolah terbuka, program kejar paket A/B, dsb. Selain itu, kita juga bisa  mengirim tenaga-tenaga pengajar yang masih menganggur di kota besar untuk dikirim ke kota-kota yang masih minim pendidikan. Dan yang paling penting adalah, kita bisa mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada para orang tua tentang betapa pentingnya pendidikan dalam diri seorang anak.

Anda tahu penyakit HIV/AIDS? Penyakit ganas nan mematikan yang saat ini belum ditemukan obatnya. Malangnya penyakit ini secara aktif sangat mudah menular dari satu orang ke orang lainnya. Sekarang coba anda bayangkan bagaimana jadinya  jika  obat  penawar HIV/AIDS sebenarnya berada di dalam pemikiran otak anak-anak Indonesia yang belum pernah merasakan  pendidikan? Hanya ada satu kemungkinan,  sebelum anak-anak itu disekolahkan maka obat HIV/AIDS pun tidak akan pernah ditemukan .

Mereka juga manusia, mereka punya hati nurani. Cobalah bertanya pada hati mereka, “apa keinginan terbesar mereka?”. Maka hati-hati kecil itu akan menjawab … “ kami ingin sekolah ! ”

*ilustrasi gambar diambil dari www.kompasiana.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *