Bijak Merespon Modernisasi

oleh: Mahfudz Fauzi*

Modernisasi memang membawa banyak kemudahan dalam kehidupan, termasuk di dunia pendidikan. Secara historis media pendidikan untuk tulis-menulis bermula hanya berupa dedaunan, batu, dinding gua, kulit kayu, kulit hewan, dan lainnya. Kemudian modernisasi muncul atas penemuan kertas oleh tokoh China Ts’ai Lun 105 M. Maka, tidak heran Michael H. Hart mencatatnya dalam buku “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” ebagai tokoh paling berpengaruh nomor tujuh dalam sejarah.

            Modernisasi pun berlanjut, elektronik telah menggantikan sebagian besar peran kertas. Munculnya short message service (SMS),  e-mail (surat elektronik), e-book, e-magazine, e-tabloid, e-newspaper, menjadi bukti nyata peradaban sudah berganti. Terbukti masyarakat ramai-ramai berganti haluan memanfaatkan media elektronik yang serba praktis, mudah, dan murah itu. Sebab, eksistensi media elektronik ternyata mampu menghemat 20 %.

            Sedangkan berbicara mengenai respon modernisasi dalam dunia pendidikan, terlebih di ‘bilik’ pesantren, seharusnya kita realistis. Jika ditela’ah lebih mendalam, generasi santri bangsa Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi modernisasi. Keberuntungan atas fasilitas yang cukup memadai ternyata banyak membuat generasi santri terlena. Smartphone, laptop, bahkan warnet yang menyediakan layanan internet hanya digunakan sebagai alternatif hiburan.

Padahal pendidikan merupakan media paling strategis dalam mengembangkan peradaban. Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), pendidikan merupakan humant investment (investasi manusia). Dikatakan sebagai investasi manusia, karena hasil dari pendidikan akan terlihat dalam kurun satu generasi. Anies Baswedan juga berpendapat bahwa hari ini menetukan sepuluh tahun kedepan. Jadi jelas, pendidikan harus terus berkembang dan menghasilkan ‘panen’ generasi unggulan. Terutama pesantren.

Dinamisasi Pesantren

            Harus diakui, Pesantren merupakan pusaka bangsa Indonesia pada umumnya, dan agama Islam khususnya. Pasalnya, tidak sedikit cendikiawan dan tokoh besar yang lahir dari ‘rahim’ pesantren. Sistem dan pola pembelajarannya pun cukup efektif, dan banyak yang meniru termasuk sekolah asrama (boarding school) di Barat. Jadi, untuk merespon perkembangan zaman, maka dinamisasi pesantren harus dilakukan.

            Ya, menjaga nilai tradisi pesantren tidak masalah, asalkan tidak sepenuhnya menutup diri terhadap modernisasi. Khusus bagi santri, harus bijak dalam merespon modernisasi. Upaya mencetak generasi santri yang berkualitas akan lebih mudah, jika pengayaan khazanah intelektual dan spiritual seimbang. Ingat Indonesia adalah negara simbiotik, antara negara dan agama saling membutuhkan. Sehingga, sumber daya manusianya dituntut untuk menguasai wawasan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

            Dalam hal ini santri memiliki potensi besar untuk meneruskan estafet memperjuangkan bangsa, negara, dan agama. Gus Dur merumuskan, dinamisasi merupakan proses penyempurnaan sedangkan modernisasi merupakan proses pergantian nilai.  Pesantren dikatakan pusaka, jadi butuh ‘perawatan’ istimewa. Dari segi kurikulum dan pola pengajaran, infrastruktur dan sarana, menejemen kelembagaan, harus dinamis sesuai dengan arah perkembangan zaman dan kultur pesantren.

Pesan Untuk Santri

            Salah satu penunjang kualitas santri adalah dengan aktif melaksanakan diskusi, aksi, dan publikasi. Ketiganya harus rutin dilakukan agar tradisi akademi benar-benar kuat. Sebab hal itu akan berpengaruh terhadap output dunia pesantren. Diskusi memang harus dibudayakan kemudian diaplikasikan. Hanya saja publikasi yang masih jarang ditemukan. Padahal, menulis merupakan sisi lain dunia pesantren. Imam Nawawi misalnya, beliau wafat di usia 45 tahun, namun mewariskan karya sekitar 40 buku.

            Lebih fokus dalam mengartikan ‘bijak merespon modernisasi’. Bagi santri, seharusnya legowo Pon. Pes. Assalam melarang membawa handphone, karena tingkat kebutuhannya belum seberapa. Toh fase remaja lebih cenderung salah dalam menggunakan media elektronik. Alih-alih bijak meresponnya, media sosial justru digunakan untuk mengumbar aib, curhat, menghina, bullying, dll.  Seharusnya media sosial digunakan untuk saling memotivasi, menyalurkan ide gagasan, dan lainnya.

Itulah pentingnya para santri, sebagai generasi penerus perjuangan ulama untuk membangun umat dan bangsa, haruslah bijak dalam merespon modernisasi kehidupan yang sangat cepat dan masif. Dengan begitu, santri canggih nan berkualitas akan terlahir.

*Penulis adalah alumni Ponpes – MTs – MA NU ASSALAM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *