Aku dan Usahaku

karya : Masfufatul Lailiyah (alumni Ponpes-MTs-MA NU ASSALAM Kudus)

“Sesungguhnya tiada yang bisa mengalahkan takdir Allah. Manusia hanya mampu memperbaiki takdir yang telah ditentukan oleh Allah untuknya. Berikut akan terkemas dalam sebuah cerita pendek yang berjudul Aku dan Usahaku”

Rangga Aditya, itulah nama seorang pemuda yang bertekad baja. Ia hidup di sebuah desa yang sangat jauh dari kota. Kerasnya hidup membuat ia harus berlapang dada meninggalkan desa kelahirannya untuk memperbaiki nasib. Ya, Jakarta adalah tujuannya. Menurutnya, di kota metropolitan itu ia mampu mendapatkan pekerjaan dengan layak.

“Mak, tolong ijinkan Rangga untuk merantau ke Jakarta. Rangga ingin membahagiakan Emak”, ucapnya sembari berlutut di kaki emaknya.

“Apa kamu serius, Rangga? Jakarta itu jauh, belum tentu kamu bisa mendapat pekerjaan yang layak di sana. Mendingan kamu tetap di sini, Nak, membantu Emak di ladang”, jawab emak dengan pelan.

“Bukankah Emak yang bilang, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memperbaiki nasib dengan cara usaha?, tolong ijinkan Rangga. Rangga akan berangkat minggu depan bersama Aldi, sahabat Rangga. Tolong ijinkan saya, Mak”, desak Rangga kepada emaknya.

“Iya kamu benar nak. Ya sudah kalau itu keinginan kamu, semoga kamu sukses di sana. Semoga Allah selalu menjagamu”, jawab emak dengan berat hati.

“Amin.. Terimakasih, Mak”

Pagi pun menjelma, menampakkan indahnya kilauan mentari bersama lautan awan yang mengitari langit. Rangga tengah duduk di beranda rumahnya, menunggu sahabatnya datang. Rencananya ia akan berangkat ke Jakarta pagi ini juga. Tak lama kemudian, Aldi datang dengan menaiki sebuah mobil pick-up yang disewanya.

“Rangga, ayo! Entar kita ketinggalan bus..!”, teriak Aldi dari dalam mobil.

“Iya, Al, sebentar”, jawab Rangga

“Mak, Rangga berangkat dulu ya! jaga diri baik-baik di rumah ya, Mak. Assalamu’alaikum”, pamit Rangga kepada emaknya dengan lirih sembari mencium tangan emaknya.

“Iya, Nak. Hati-hati. Wa’alaikum salam warohmatullah”,jawab emak dengan sendu.

Rangga bergegas menaiki mobil pick-up yang sengaja ia sewa. Sesampainya di terminal, ia masuk ke dalam bus jurusan Jakarta. Tampaknya ia begitu menikmati perjalanannya, hingga tak terasa, ia telah tiba  di kota metropolitan itu.

“Inilah yang selama ini aku impikan Rangga, aku gak nyangka bisa sampai Jakarta”, ucap Aldi sambil memandangi bangunan-bangunan yang tinggi menjulang langit Jakarta.

“Iya, Al, aku juga gak nyangka sama sekali, berarti setelah ini kita cari kontrakan, setelah itu kita langsung mencari pekerjaan.”

Dengan semangat bajanya, Rangga dan Aldi terus menyusuri jalanan kota. Mereka mencoba memasuki setiap perusahaan di sana. Tak kurang ada 32 perusahaan telah mereka coba, namun, tak ada satupun yang berhasil. ”Aku sudah nyerah Rangga, aku mau balik ke kampung saja. Menjadi pekerja serabutan di sana juga tak apa, dari pada mati kelaparan di kota orang. Besok antar aku ke terminal ya”, ucap Aldi dengan nafas terengah-engah.

“Kenapa kamu menyerah Al, kita baru di Jakarta 5 minggu. Percaya saja, dengan usaha dan tawakkal semuanya akan baik-baik saja”, ucap Rangga berusaha menghentikan tekad Aldi untuk pulang.

Ah nggak, pokoknya besok kamu harus nganter aku ke terminal. Aku akan kembali ke kampung.”

“Ya sudah, kalau itu mau kamu, besok aku akan mengantar kamu ke terminal.”

Esok harinya, matahari kembali tersenyum. Sinarnya mengingatkan warga Jakarta untuk kembali mengejar harapannya. Namun tampaknya sinar matahari tak sampai ke hati sahabat Rangga, Aldi. Tekadnya sudah bulat. Pagi ini juga, ia akan mengakhiri mimpinya dan memutuskan untuk menjemput masa lalunya, yaitu bekerja serabutan di kampung halamannya. Rangga pun mengantarnya hingga terminal.

“Kau yakin tak mau ikut denganku, Rangga?”, tanya Aldi kepada Rangga.

Rangga terdiam, tak ada jawaban darinya, hanya sebuah senyuman kecil yang hadir di bibirnya.

“Ya sudah, kalau begitu, aku pergi dulu kawan, assalamu’alaikum”, pamit Aldi kepada Ranga.

”Iya, hati-hati. Sampaikan salamku kepada emak. Wa’alaikum salam, kawan”, jawab Rangga sembari melambaikan tangan ke arah jendela sebuah bus yang dinaiki kawannya itu.

Ia kembali ke kontrakan, dan bersiap-siap untuk datang ke perusahaan yang ke-33. Berharap nasib baik telah menunggunya. Ia menyusuri jalanan kota dengan penuh semangat.

“Ini adalah perusahaan yang ke-33, semoga saja aku diterima, amin ya Allah”, katanya dalam hati.

“Rangga Aditya, silahkan masuk untuk interview, sudah ditunggu bos di sana.”

Oh iya, mbak. Terimakasih.”

Ia segera memasuki sebuah ruangan untuk interviewnya yang ke 33. Tak ada semangat lagi baginya, sudah lima minggu di Jakarta, namun belum juga mendapatkan pekerjaan. Hanya ada kepasrahan dari dalam hatinya.

“Rangga Aditya, lulusan mana kamu?”

“Saya tidak kuliah, Pak, tetapi hanya lulusan SMA lokal di desa, tak ada biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.”

“Lulusan SMA lokal kok berani melamar di perusahaan saya, ya jelas nggak akan saya terima.”

“Tapi, Pak, saya bisa kok menjadi salesman di perusahaan bapak, nilai ekonomi saya waktu SMA cukup bagus. Tolong beri saya waktu satu minggu. Insyaallah saya bisa bekerja dengan baik. Kalau dalam satu minggu ke depan kerja saya kurang memuaskan, maka bapak boleh memecat saya, tapi jika kerja saya baik, bapak bisa mempertimbangkannya.”

Em.. Oke saya beri waktu kamu satu minggu, kamu ambil saja produk-produk kecantikan ini, lalu tawarkan ke sejumlah salon ternama.”

“Iya, Pak, terimakasih. Saya akan memulainya sekarang.”

Dengan perasaan senang, ia memulai aktivitas barunya untuk menawarkan sebuah produk kecantikan ke sejumlah salon di ibukota. Tak ada jalan baginya kecuali hanya pekerjaan itu. Walaupun ia  adalah seorang pria yang gagah, namun ia tak malu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Tak terasa, satu minggu telah berlalu, ia telah mampu mendapatkan uang Rp 15.000.000,-  untuk produk yang dijualnya. Dengan perasaan dag-dig-dug yang berkecamuk dalam hati, Ia mendatangi kembali sebuah perusahaan itu.

Mbak, bisakah saya bertemu dengan bapak Andi hari ini?”

“Anda Rangga Aditya?”

“Iya, mbak

“Tadi bapak Andi berpesan kepada saya, bahwa mas Rangga Aditya diterima di perusahaan ini, karena Anda telah sukses memasarkan produk kecantikan kami, selamat buat Anda”

Alhamdulillah. Saya sangat berterimakasih kepada bapak Andi, tolong sampaikan salam saya kepada beliau. Lalu, kapan saya bisa mulai bekerja, mbak?”

“Anda bisa mulai bekerja besok pagi.“

“Kalau begitu saya permisi dulu, mbak.Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam.”

Rangga bergegas pulang dengan perasaan senang, ia menyampaikan kabar ini kepada emaknya yang berada di kampung halaman. Akhirnya, ia mampu mendapatkan pekerjaan berkat kerja kerasnya. Adzan maghrib pun berkumandang, tak lupa ia segera mengambil air wudhu untuk persiapan menghadap Allah. Ia bergegas menuju masjid yang terletak di dekat kontrakannya.

“Ternyata benar apa kata emak, batu sekeras apapun akan terbelah jika terkena setetes air pada setiap harinya. Begitupun dengan hidup. Sekeras apapun kehidupan ini, akan mampu terlunakkan karena adanya keringat yang menetes pada setiap usaha serta dengan do’a dan tawakkal kepada-Nya. Terimakasih ya Robb atas  anugerah-Mu selama ini”, ucapnya ketika ia selesai melaksanakan sholat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *