(Wawancara Fiqih dengan Ustadz Hafidz)
Air mani itu suci dan air kencing itu najis. Bagaimana bisa mengeluarkan sesuatu yang suci malah diwajibkan mandi, sedangkan mengeluarkan yang najis cukup dengan istinja’ saja, dan cukup berwudhu jika ingin menjadi suci?
Dari sudut pandang dalil, seseorang yang keluar mani wajib mandi karena ada dalil yang mewajibkannya. Dalil itu antara lain وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا “.. dan jika kamu junub maka mandilah” (Q.S. Al-Mâidah [5]:2) dan hadits الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ “Hanyalah air itu (mandi) adalah karena air pula (keluar air mani)”.
Apakah hanya sebatas karena ada dalil? Apa tidak ada nilai filosofis dibalik perintah mandi janabat ini?
Pada dasarnya, Allah yang Maha Kuasa tidak terikat dan tidak memerlukan alasan untuk menetapkan hukum, termasuk kenapa mewajibkan mandi ketika keluar air mani dan tidak mewajibkan mandi ketika keluar air kencing. Tetapi, Allah juga Maha Bijaksana sehingga selalu saja ada manfaat dan hikmah dibalik hukum yang ditetapkan meski –seringkali- akal manusia tidak mampu menjangkaunya.
Oleh karena itu, ulama mencoba mencari dan menebak hikmah at-tasyrî’ dibalik hukum yang ditetapkan. Dengan gambaran manfaat dan hikmah yang ada, diharapkan manusia akan lebih tertarik dan mantap dalam menjalankan hukum tersebut.
Sebetulnya, hikmah terbesar dari pelaksanaan mandi janâbah adalah mensucikan hati dengan cara taat dan tidak melawan terhadap apa yang diperintahkan Allah. Kepatuhan itu adalah hakikat penghambaan kita terhadap Allah.
Selain hikmah di atas, banyak literatur yang menyatakan bahwa di dalamnya terdapat manfaat yang sifatnya jasmaniah dan manfaat yang sifatnya spiritual.
Apa saja manfaat jasmaniah yang diperoleh dari mandi janabah?
Islam adalah agama kesehatan dan kebersihan. Islam mendorong pemeluknya agar hidup bersih dan sehat. Salah satu ajaran yang menunjukkan hal tersebut adalah kewajiban mandi janâbah. Studi kesehatan di era modern ini semakin membuktikan bahwa dibalik perintah mandi janâbah ini terdapat banyak manfaat bagi kebersihan dan kesehatan tubuh. Manfaat-manfaat tersebut antara lain menghilangkan bau badan dan mencegah munculnya penyakit akibat adanya keringat, toksin, bakteri, zat berbahaya danproses kimiawi tertentu pada tubuh akibat aktifitas biologis ini.
Mandi janâbah juga sangat bermanfaat untuk mengembalikan stamina dan memulihkan tenaga akibat kondisi tubuh melemah. Kenapa tubuh menjadi lemah? Ada yang mengatakan bahwa saat mengeluarkan air mani, yang bersangkutan juga mengeluarkan energi yang besar. Ada juga yang mengatakan bahwa saat keluar air mani, pria juga mengeluarkan biokimia seperti oksitosin, prolaktin, gamma amino butyirc acid dan hormon lainnya yang menyebabkan badan menjadi lemah dan lesu.
Lalu, apa manfaat ruhaniah yang diperoleh dari mandi janabah?
Secara spiritual, keluarnya mani membuat ruh terjerat dalam jejaring syahwat dan membuat nafsu hayawâni menjadi dominan mengalahkan nafsu malaki. Dengan niat lillâhi ta’âlâ yang ia ikrarkan dalam hati ketika mandi janâbah, maka nafsu malaki akan menjadi tenang dan kembali kepada posisinya serta pengaruh syahwat akan dapat dinetralisir.
Rahasia lain dibalik ketentuan ini adalah menunjukkan salah satu tasâmuh (kemurahan) syariat Islam. Bisa dibayangkan seandainya seseorang diwajibkan mandi setelah kencing, tentu hal ini akan sangat memberatkan. Sebab kencing adalah aktivitas primer tubuh manusia yang intensitasnya jauh lebih sering dari pada keluarnya sperma. Hal ini selaras dengan salah satu prinsip Islam, yaitu ‘adam al-haraj (tidak memberatkan).
Kenapa harus membasahi seluruh badan secara merata ?
Hal ini dapat dikaitkan dengan dua hal, yaitu asal-muasal mani dan penyebaran syahwat. Tentang asal-usul air mani, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa air mani keluarnya dari sari pati seluruh tubuh. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan Al-Qur’an yang menyebut mani dengan سُلَالَة atau saripati. Karena itulah, ketika seseorang mengeluarkan mani, semua anggota tubuh ikut merasakan proses dan sensasi tersebut.
Kewajiban membasuh seluruh tubuh juga dapat dikaitkan dengan keberadaan syahwat yang menyebar keseluruh tubuh sehingga seluruh tubuh harus dibasuh untuk menetralisir gelora syahwat.
Hal ini berbeda dengan air kencing yang berasal dari sisa dari makanan dan minuman serta tidak memunculkan rasa lelah setelah mengeluarkannya. Jadi, meskipun air kencing dan air mani sama-sama keluar dari lubang alat yang sama tetapi keduanya adalah materi yang berbeda sehingga dampak yang ditimbulkannya juga berbeda.
Apakah hukum Islam dapat berubah?
Islam adalah agama yang sempurna dan shâlih li kulli zamân wa wakân. Salah satu sisi kesempurnaannya adalah adanya hukum Islam (Islamic law) yang berlaku baku, bersifat konstan (tsabât) dan ajaran yang bersifat lentur, elastis, fleksibel (murûnah) atau dinamis (tathawwur). Jika ajaran yang konstan tidak mengenal bentuk perubahan apapun, maka ajaran yang elastis justru sebaliknya, menerima akses perubahan.
Dalam wilayah apa saja hukum Islam bersifat konstan?
Hukum Islam yang bersifat konstan, permanen dan universal adalah hukum Islam yang biasa disebut dengan syariat, hukum yang berada dalam wilayah ta’abbudî atau ghairu ma’qûlat al-ma’nâ (tidak dapat dijangkau oleh nalar) dan hukum yang didasarkan pada dalil yang bersifat qath’î.
Kalau yang bersifat lentur, dalam wilayah apa saja?
Hukum Islam yang bersifat lentur (al-murûnah) atau tidak permanen (al-ahkâm al-mutaghayyirah) adalah hukum Islam yang bersifat ijtihâdiyyah, yaitu hukum-hukum Islam yang berada dalam wilayah ma’qûlat al-ma’na-reasonable (dapat dijangkau oleh nalar), hukum Islam yang didasarkan pada dalil dzanni, hukum Islam yang didasarkan pada manâth al-hukm, ‘illat dan sabab tertentu.
Secara simplistis, perubahan hukum Islam dalam wilayah ini terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
Pertama, didasarkan pada dalil yang dzanni semisal istihsân, al-mashlahah al-mursalah, al-‘urf, sadd adz-dzarî’ah dan lain-lain.
Kedua, perubahan manâth al-hukm, ‘illat (logika kausalitas),dan sabab yang mendasari sebuah hukum. Salah satu kaidah yang mengukuhkan hal ini adalah الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما. Artinya, setiap ketentuan hukum yang didasarkan pada ‘illat tertentu, maka jika ‘illat ada hukumpun ada, dan jika ‘illat tidak ada, maka hukumpun tidak ada. Khamr itu haram karena memabukkan. Akan tetapi, ketika esensi khamr berubah menjadi cuka dan tidak memabukkan, maka ia berubah menjadi halal karena ketidak adaan ‘illat memabukkan pada cuka.
Contoh yang lain. Nabi memerintahkan para sahabat untuk menunaikan zakat fitrah dengan makanan pokok setempat, yakni jelai atau gandum (sya’îr). Di Jawa, yang menjadi makanan pokok adalah beras. Karena itu, zakat fitrahnya tidak dengan gandum tetapi dengan beras.
Ketiga, reaktualisasi hukum Islam yang berupa prinsip-prinsip dasar universal (al-mabâdi` al-âmmah). Dalam banyak hal, terutama dalam ranah mu’âmalah, Islam sengaja membuat aturan yang bersifat global, secara garis besar, bersifat umum dan berupa prinsip-prinsip dasar.
Syâri’ (pembuat syari’at, Allah dan Rasulullah) sengaja memberi aturan demikian agar ajaran Islam dapat akomodatif terhadap tuntutan zaman dan dapat bergerak dinamis merespon aneka persoalan hukum yang terus berkembang di tengah masyarakat. Dengan demikian, diharapkan ajaran Islam betul-betul dapat membumi dan shâlih li kulli zamân wa wakân.
Dalam jual beli, misalnya, kesukarelaan di antara kedua belah pihak (tarâdhin) merupakan substansi dan prinsip yang paling mendasar. Sementara menyangkut format dan teknik operasionalnya dapat berubah sejalan dengan perubahan situasi (al-ahwâl) dan kondisi (azh-zhurûf) dan hal itu tetap dianggap sah oleh ajaran agama sejauh tetap mengacu pada nilai-nilai universal yang dikandungnya. Karena itulah, dalam masa tertentu, kerelaan dapat diaktualisasikan dengan pernyataan verbal (ijab kabul) dan pada masa yang lain, kerelaan dapat dimanifestasikan dengan mu’âthâh (serah terima barang dan uang saja tanpa disertai pernyataan verbal) sebagaimana jual beli yang berlaku di mini market, supermarket dan lain-lain. Kerelaan penjual dan pembeli baik diwujudkan dengan pernyataan verbal maupun dengan mu’âthâh, sama-sama sah di mata hukum.
Faktor luar apa saja yang dapat mempengaruhi perubahan hukum Islam?
Secara garis besar, faktor eksternal yang dapat berperan mempengaruhi perubahan hukum Islam termuat dalam dua kaidah berikut ini :
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال
“Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum dapat berubah karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial”
تغير الفتوى واختلافها بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
“Perubahan fatwa dan perbedaannya itu berdasarkan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, motivasi dan adat istiadat”
Dapat diberikan contohnya?
Contohnya antara lain perubahan sanksi minum khamr. Di masa Rasulullah, sanksi minum khamar hanya 40 kali pukulan dengan sandal, tongkat, atau ujung baju. Sementara di masa Umar, ditetapkan hukum cambuk 80 kali. Perubahan hukum ini (sanksi minum khamr) terjadi karena adanya perubahan kondisi sosial yaitu, degradasi moral, hilangnya sifat wara’ dan sikap rakyat dan pejabatnya yang mulai longgar menganggap enteng persoalan khamr.
Contoh yang lain. Penulisan dan pembukuan Hadis Nabi adalah sesuatu yang terlarang sebagaimana tertuang dalam hadits من كتب عني غير القرآن فليمحه “Barang siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah”. Alasan Rasulullah melarang penulisan hadis adalah kekhawatiran akan bercampur-baurnya Hadits beliau dengan Al-Qur’an.
Dikemudian waktu, penulisan dan pembukuan hadis berubah menjadi wajib. Ada dua alasan utama yang melatarbelakangi perubahan hukum ini. Pertama, kekhawatiran hilangnya hadis secara berangsur-angsur karena para penghafal hadis semakin berkurang akibat meninggal dunia. Kedua, pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Al-Qur’an sudah terkodifikasi dengan baik sehingga tidak lagi dikhawatirkan terjadinya campur-baur antara Al-Qur’an dan Hadits.