Bermental Sehat di Zaman Sakit

oleh: Drs. H. Ahmad Fatah (pengampu Mapel B. Indonesia MA NU ASSALAM)

Mulo yen kali ilang kedunge
Pasar ilang kumandange
Iku tandane yen nemoni wolak waliking jaman
Ono guru disatru
Omah suci dibenci
Omah olo dipujo
Wong jahat munggah pangkat
Wong mulyo kinunjoro


(S. Marwoto: Jongko Joyoboyo, 2011)

Matahari terus  bersinar, bumi terus  berputar, waktu terus berjalan. Segalanya pun berubah seiring dengan perubahan zaman . Yang bayi jadi remaja, yang remaja  jadi tua, yang tua lalu tiada. Demikian pula dengan nilai; hal-hal yang semula dinilai baik  seiring dengan perubahan zaman berubah menjadi tidak baik, sementara yang semula tidak baik menjadi baik. Hal-hal yang semula layak menjadi tidak layak, demikian juga sebaliknya.

 Perubahan zaman adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Tetapi menyikapinya  dengan bijak adalah keharusan yang tidak boleh diabaikan, agar seseorang punya jati diri dan hidup punya arti. Bukan seperti bola menggelinding di tempat yang miring  atau kapas tertiup angin, bukan pula bunglon yang selalu berubah warna mengikuti warna tempat ia berada.

Waktu terus berjalan, tatanan kehidupanpun bergerak seiring modernisasi. Segalanya lalu berubah. Dahulu seseorang dikatakan kaya jika ke mana-mana membawa uang banyak, sehingga orang yang kaya disebut si kantong tebal. Tetapi sekarang orang kaya justru ke mana-mana tidak membawa uang, cukup membawa  kartu ATM dan kartu kredit. Dahulu orang bersilaturrahim dengan cara datang kerumah atau bertemu di suatu tempat, lalu bersalaman dan berbincang-bincang berbagi cerita apa saja, tetapi sekarang bersilaturrahim bisa dilakukan dari  jarak jauh, tidak harus bertemu apalagi hadir ke rumah, cukup lewat WA, twitter, dan media sosial lain. Dahulu seorang anak menerima nasihat atau informasi dari orang tua di rumah dan mendapat pengalaman dari teman bermain, pelajar mendapatkan ilmu dari guru  di sekolah,  santri mendapatkan ilmu dari kyai di pesantren, mahasiwa mendapatkan ilmu dari dosen, dan orang dewasa mendapatkan ilmu dari orang-orang yang pernah ditemui terutama dari orang-orang yang dihormati. Oleh karena itu wajarlah jika anak mengidolakan orang tuanya, murid mengidolakan gurunya, santri mengidolakan kyainya, mahasiswa mengidolakan  dosennya, dan orang-orang dewasa  mengidolakan orang-orang yang dikagumi dan dimulyakan yang pernah ditemuinya.

Namun semua kini sudah tidak seperti dahulu. Batas ruang sudah terlewati dan batasan waktu sudah terlampaui, ketika media sosial sudah merambah dan mewarnai semua aspek kehidupan manusia. Kini media sosial telah mengambil alih sebagian besar peran sebagai sumber informasi dan keteladanan. Akibatnya sudah bisa ditebak, hubungan  saling menghormati dan menyayangi antara orang tua dan anak, guru dan murid , santri dan kiyai berubah menjadi hubungan sederajat seperti antara sesama teman yang katanya “berdasar HAM”. Akibat selanjutnya adalah bergesernya figur idola dari: orang tua, guru, kiyai; kepada artis, selebritis, politisi dan orang terkenal yang di kenal lewat media sosial, terlepas mereka layak untuk diidolakan dan diteladani atau tidak. Sementara orang–orang yang seharusnya diteladani malah kehilangan pamor karena dianggap kurang menarik dan kurang prestis. Inilah yang dalam ramalan Jayabaya dikatakan “kali ilang kedunge pasar ilang kumandange”.

Yang patut diperhatikan dan diprihatinkan dari situasi di atas adalah lunturnya  nilai-nilai moral, sosial dan spiritual yang menjadi landasan hidup sejati. Hal ini  nampak pada hubungan antara:  anak dan orang tua, murid dan guru, santri dan kiyai, tua dan muda menjadi hubungan pertemanan yang sederajat, sehingga fungsi kontrol sosial dan keteladanan  menjadi hilang. Kehidupan sosial kehilangan moralitas dan agama kehilangan kesakralan. Benar salah dan baik buruk bukan diukur dengan nilai moral yang bersumber dari agama tetapi diukur dengan selera. Anak membantah orang tuanya dianggap layak, murid melawan gurunya  dianggap wajar dan  orang-orang dholim yang mengambil hak orang lain dianggap biasa. Yang jahat hanyalah pembunuh, yang jelek hanyalah pencuri. Orang jujur, orang adil dan orang ahli ibadah tidak akan dihormati kalau tidak punya harta dan jabatan. Sebaliknya orang kaya dan pejabat dihormati bagai seorang nabi, dipuji bagai seorang pahlawan, walaupun sejatinya sebagian dari mereka adalah penipu, penindas dan koruptor, bahkan penjahat kemanusiaan.

Lalu apa yang harus kita lakukan ?

Kehidupan sosial itu berjalan sesuai teori kausalitas. Semua kejadian saling terkait satu sama lain seperti lingkaran setan. Kita tidak mungkin mengurai semua persoalan atau menyelesaikan semua masalah, tetapi kita bisa memulainya dari diri kita dan lingkungan kita.

Dunia boleh berubah tetapi  tatanan kehidupan harus tetap terjaga sesuai  budaya bangsa Indonesia yang pancasilais, religius dan humanis. Oleh karena itu;  

  1. Anak harus tetap hormat kepada orang tua.
  2. Murid harus takdhim kepada guru.
  3. Santri harus takdhim kepada kiyai.
  4. Sesama manusia harus saling menghormati;   hormat kepada yang lebih tua, sopan kepada sesama dan santun kepada yang lebih muda.

Religitas dan moralitas harus dijunjung tinggi melebihi rasionalitas. Kebenaran  harus berdasarkan agama bukan selera. Sakralitas janga tergusur oleh modernitas. Kongkritnya adalah :

  1. Gadget boleh canggih tetapi jangan mengabaikan membaca alquran.
  2. Pakaian boleh trendi tetapi harus tetap syari.
  3. Menguasai bahasa internasional tetapi cara bergaul tetap menghormati budaya lokal.
  4. Modernitas adalah keniscayaan tetapi menjaga nilai-nilai keagamaan adalah kewajiban.

Itu semua adalah tantangan bagi kita, agar anak-anak kita jadi orang-orang sholeh, generasi muda berakal waras, dan kehidupan masyarakat tetap berjalan ke depan walaupun  zaman sudah berubah dan dunia sudah jungkir balik. Dunia boleh edan tetapi kita harus tetap waras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *